Kenapa Ga bisa Kaya?

Senin, 30 Juli 2007

Mengapa sampai saat ini kta belum bisa mencapai kemakumuran yang diharapkan? Kalau pertanyaan ini diajukan pada Anda, kira-kira apa jawabannya?

Ada yang menjawab, " saya tidak cukup pintar". Tapi apakah pintar merupakan jaminan sesorang untuk makmur? Bila ya, tentu orang kaya akan lebih banyak didominasi oleh guru, dosen atau professor.

Kenyataan berkata lain. Kepintaran ternyata bukan jaminan untuk makmur. Lihat saja orang terkaya di dunia- Bill Gates, yang ternyata tidak lulus kuliah.

Jawaban lainnya, "Saya tidak punya cukup waktu untuk menghasilkan kekayaan lebih banyak". Wah, bila saja orang yang punya banyak waktu bisa menghasilkan kekayaan, pasti orang yang menganggur sekarang ini tentu makmur semua. He he…

Yang pasti setiap kita diberikan waktu yang sama setiap harinya. 1x24 jam. Tidak kurang, tidak lebih

Mungkin banyak yang menjawab saat ini tidak punya banyak uang untuk menghasilkan uang lebih. Lagi-lagi ini hanya alasan pembenaran. Contohnya Bob Sadino, mulai tidak dengan uang berlimpah. Dia pernah menjadi supir taksi, juga kuli bangunan. Bahkan bisnis Kem Chicknya dimulai dari hanya penjual telur ayam saja.

Atau bisa ditanya pada Jendral TDA Pak Roni, dalam satu kondisi sulit memiliki sedikit uang yang hanya cukup untuk ongkos satu kali jalan pulang ke kampung halamannya saja. Dan kenyataannya sekarang jauh lebih baik. Jadi uang tidak bisa menjadi alasan penghambat.

Menurut Adam Khoo ada beberapa alasan mengapa sampai saat ini seseorang masih sulit mencapai kemakmuran

Alasan utama adalah, Orang tersebut masih tidak (mau) punya kendali pada tindakan sendiri

Selalu saja menyalahkan orang lain atau kondisi eksternal dari keadaan yang terjadi. Contohnya, pada saat omset menurun, kemudian kita menyalahkan kondisi market yang tidak kondusif atau mengkambing hitamkan pelanggan yang dibulan Juli ini lebih terkonsentrasi untuk keperluan sekolah.

Bila Anda mau pegang kendali, maka kondisi apapun yanag terjadi akan Anda ambil sebagai tanggung jawab penuh Anda. Bukan menyalahkan orang lain, tapi interospeksi. Misalnya, mengapa tidak memperbaiki cara menjual Anda, produk yang Anda jual atau strategi pemasaran yang harus dievaluasi.

Tiger Wood, pegolf kaya dan peringkat satu di dunia- bisa menjadi contoh untuk hal ini.

Pada suatu turnamen kondisi angin yang begitu besar dan mendung yang menghitam. Tentu sangat menyulitkan untuk mengarahkan bola golf ke hole yang dituju. Benar saja , pukulannya melesat jauh dari sasaran.

Ketika pegolf lain termasuk para pengamat menyalahkan kondisi cuaca yang sangat buruk, tidak demikian dengan Tiger. Dia mengambil tanggung jawab dengan berkata, "latihan saya selama ini tidak cukup baik untuk menghadapi kondisi alam seperti ini. Saya harus lebih keras lagi latihan dalam kondisi cuaca apapun."

Jadi jangan terlalu banyak alasan. Tetapkan mindset untuk berani mengambil tanggung jawab terhadap kehidupan Anda sendiri.

Bukan mindset sebagai korban, yang selalu menyalahkan keadaan, menyalahkan bos, menyalahkan karyawan, kalau perlu menyalahkan dunia. Mungkin seperti kata peribahasa: Kuman disebrang lautan tampak, Gajah dipelupuk mata tidak kelihatan.

Jika selalu menyalahkan orang lain, berarti Anda menyerahkan remote kehidupan Anda pada orang lain. Dengan memberikan kontrol pada orang lain, sulit untuk bisa merubah hidup Anda.

Artinya pada saat belum mencapai kemakmuran, tidak serta merta menyalahkan orang lain, menyalahkan komunitas, menyalahkan kurikulum DSA (Dream, Strategi, Action). Tapi ambil 100% tanggung jawab. Bisa saja saat itu salah memilih atau mengambil keputusan, salah strategi, salah tindakan yang ditempuh. Semuanya dievaluasi dan diambil koreksi.

Ini akan menjadi kekuatan untuk bisa mencapai kelimpahan. Pilihan ada pada Anda. Take your own responsibility or to be a victim!

0 komentar:

Pembaca Blog ini

Anda Pengunjung Ke

  © Blogger template Columnus by Ourblogtemplates.com 2008, AR Junaedi

Back to TOP